Sejarah kota Indramayu
Kabupaten
Indramayu yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, dengan wilayah
darat 20.006,4 km2 merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya
alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini
Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah
(Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang
menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut
Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu
bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas
dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan
selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas
sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang
“bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut
orang Jawa Tengah adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah
“wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang
sebangun dengan Cirebon.
Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan
banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan
Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai
Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih
dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19,
peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai
dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun
1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam, Demak,
yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya
Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri
Pajajaran pun runtuh juga. Gegap politik dan kekuasaan seperti itu
sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk
(Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika itu.
Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan
sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat
selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada
daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang,
Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.
Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Kabupaten Indramayu dan 7
Oktober 1527 sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan
pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni
1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal
dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang – Kota
Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad
Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat
beberapa jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun
rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang,
mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu
Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu
Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kalid
Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari),
Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis
Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra
(demang).
Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu,
sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti
dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan
seorang bupati dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan
Dasuki (1977):
Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah
suatu tempat yang sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada
benarnya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah
daerah yang sekarang merupakan daerah jurisdiksi Indramayu, sudah
pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan pemberitaan dari beberapa
sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra datang ke daerah
Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada manusia yang
berbudaya.
Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik
pada wilayah yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu,
hingga Lohbener. Pada kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah
lain memiliki nama yang berbeda, dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang
berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi argumentasi bahwa Kabupaten
Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wangsakerta
menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang di Pulau
Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti dituliskan dalam
Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4. Beberapa Ki
Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut mazhab
Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang.
Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu,
Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki
Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng
Junti. Data seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan
mazhab dalam Islam yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki
Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya
deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut. Penyebutan nama-nama Ki
Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki derajat
yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng,
Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa
diinterprestasikan di wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng
atau Ki Buyut secara otonom dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki
Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng
Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti, tetapi
berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah masa hidup Sunan
Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).
Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman
Pajajaran yang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan
Kandanghaur, seperti dalam Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H).
Naskah lain pada zaman Pajajaran menyiratkan adanya tokoh lain dan
wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut keberadaannya sejak abad
ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy
Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur
yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja
dengan Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang
(Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati).
Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa).
Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuna di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Singakerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa).
Latar tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan
Sunan Gunungjati dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke
pesisir. Naskah Purwaka Caruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir
tersebut hingga ke pedalaman Karawang dan Dermayu. Saat Sunan
Gunungjati bertahta, jangkauan Cirebon dalam penyebaran Islam mencapai
2/3 daerah di Jawa Barat.
Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada
di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini
masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata isun
(saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di
Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu)
dibandingkan penggunaan reang atau kita sebagaimana digunakan secara
umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk
untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap
menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian
kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.
Dalam buku ”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004) malah
ditegaskan, pada abad ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal
bakal Caruban/Cirebon) yang dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat
Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi adalah Kali Cipamali (sebelah timur),
Cigugur Kuningan (sebelah selatan), pegunungan Kromong (sebelah barat),
dan Junti (sebelah utara).
Akan halnya Junti, daerah ini disebut-sebut dalam cerita tradisional
Cirebon dalam episode kedatangan Dampu Awang, seorang pedagang dari
Cina yang beragama Islam. Tokoh ini identik dengan Sam Po Kong atau Sam
Po Toa Lang atau Sam Po Toa Jin atau Sam Po Bo (P.S. Sulendraningrat,
1975; H.A. Dasuki, 1977). Dalam perjalanan di Pulau Jawa, Dampu Awang
tertarik putri Ki Gedeng Junti, tetapi cintanya itu bertepuk sebelah
tangan. Ia memaksa. Ki Gedeng Junti menolak halus lamarannya, kemudian
membuat strategi dengan mengadakan sayembara. Jika Dampu Awang mampu
merobohkan bambu ori yang tebalnya dua meter dan tingginya tiga meter
yang mengelilingi rumah Ki Gedeng Junti dalam waktu satu malam, lamaran
itu akan diterima. Dampu Awang menggunakan akalnya. Ia umumkan kepada
rakyat untuk menaburkan emas di tembok bambu itu. Rakyat berebut emas
dengan berbagai cara. Pagar bambu pun porak-poranda. Ki Gedeng Junti
dan putrinya menolak tipu muslihat ini, lalu lari dan meminta
perlindungan Syeh Bentong, seorang wali di Kesenden Cirebon. Dampu
Awang mengejar dan bentrok dengan Syeh Bentong. Dampu Awang kalah, lalu
lari ke Palembang. Syeh Bentong menikah dengan Putri Junti,
selanjutnya rakyat Junti memeluk agama Islam mengikuti ajaran Syeh
Bentong.
Kronologis dalam cerita babad seperti itu tampaknya terjadi di
mana-mana. Ada tema cinta ditolak, strategi menolak lamaran secara
halus, dan waktu semalam sebagai syarat lamaran diterima. Pada legenda
Sangkuriang-Dayang Sumbi juga demikian. Syarat cinta diterima itu
adalah agar dibuatkan sebuah perahu dalam waktu semalam. Begitu pula
Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi dalam waktu semalam.
Perspektif lain tentang Dampu Awang ini tidak menyentuh sama sekali
daerah Junti. Tahun 1418 Dampu Awang (mungkin nama aslinya Ma Huang)
bersama istrinya, Nhay Rara Ruda (kakak perempuan Ki Gedeng Tapa)
bersama-sama pula Nhay Aci Putih dan Nhay Subang Larang pergi berlayar
dari negeri Singapura (nama salah satu negeri di Cirebon) ke Malaka.
Apakah bertolak dari Celangcang atau Muara Bondet atau dari Muara Jati,
tidak jelas. Menurut cerita rakyat, Celangcang adalah pelabuhan zaman
dahulu, yang namanya berasal dari kata nyangcang, artinya mengikat atau
menambat perahu. Yang ditambat adalah perahu Dampu Awang, karena lebih
besar dibanding perahu-perahu lainnya (Sunardjo, 1983).
Jejak Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa.
Jejak Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa.
Abad XVI menjadi anak tiri yang terlantar dalam sejarah Jawa,
terhimpit antara dua bidang penelitian yang besar dan banyak
tuntutannya: arkeologi Jawa dan sejarah kolonial. Ahli sejarah Islam
yang mendalami sejarah kerajaan Islam, menjauhi masalah yang menarik
itu. Ahli sejarah Jawa lebih tertarik pada sejarah tertulis yang lebih
tua daripada masa Mataram Baru. Hanya beberapa orang saja, seperti
Brandes dan Rouffaer yang mendalami satu dua masalah dari masa yang
gelap ini (H.J. de Graff, cet.kedua, 1987).
Meski dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai
digunakan sejak abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian
wilayahnya (sebelah timur sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan
Belanda abad ke-19, nama yang muncul adalah Bengawan wettan, salah satu
dari lima keregenan (regentschappen) di bawah Keresidenan Cheribon,
selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan Koeningan (besluit van
commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal 5 Januari
1819). Keregenan Bengawan wettan meliputi sungai Singapura, dari muara
sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan
ini ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung,
selanjutnya sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut.
Peristiwa “Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu (Bengawan wettan). Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu, sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda.
Peristiwa “Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu (Bengawan wettan). Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu, sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda.
Dasuki (1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu
sebelah barat sungai Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu
Kedemangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan, Bangodua,
Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu sebelah timur Cimanuk
dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu, Karangampel, dan
Sleman (Jatibarang).
Di wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu,
yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh
kebudayaan Sunda sangat kuat. Di sebagian desa di Kecamatan Terisi
hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu malah memiliki asal-usul
penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda. Komunikasi sosial dan
kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah akulturasi yang Dermayu.
Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di
wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan,
dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa
Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi
lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api
dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah
timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi”
ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan
kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik
tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang
melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial
Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan
logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini.
Yang menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di wilayah tersebut. Sunda-Lea dan Sunda-Parean (maksudnya bahasa Sunda yang digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup di lingkungan Jawa-pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.
Yang menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di wilayah tersebut. Sunda-Lea dan Sunda-Parean (maksudnya bahasa Sunda yang digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup di lingkungan Jawa-pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.
Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti
Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih
(Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam
menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur ini banyak berperan dua
orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran
Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga
ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara
Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto,
dan Eva Nur Arofah, 2004).
Penjelasan Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni
Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur
yang masih lekat hingga kini, yakni bahasa Sunda. Ketika beralih pada
kekuasaan Cirebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi
berasal dari nama seorang pangeran asal Cirebon, yakni nama desa,
Wirapanjunan. Kurun waktu kekuasaan Cirebon atas tiga daerah di
Indramayu saat Cirebon mencapai puncak kejayaan, sebagaimana
dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat F. de Haan (1912:
33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan dan
sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti
Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).
Jangan lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya
pemerintahan, yakni Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan
lingkungan “keraton” dan “ibukota” yang dibangun Wiralodra. Wilayah
yang secara arkeologis cenderung sebagai kota pemerintahan bercorak
Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan itu juga,
sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang
hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan perkampungan arab yang
ada di sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan keberadaan masa lalu
itu.
Satu hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu
yang kini terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai
114 km. Dengan keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat
mungkin menjadi pintu masuk akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi,
budaya, dan agama dari berbagai daerah dan bangsa. Agak serius untuk
mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas adanya kerajinan batik di
Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang), kerajinan gerabah
di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga memiliki
nama sama dengan lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon).
Hal di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman
beserta ketiga adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah
putra-putra Sultan Sulaeman dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada
Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di
Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari anjun, barang-barang keramik
yang terbuat dari tanah liat.
Beliau besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun
mesjid, dan juga mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat
barang-barang keramik dari tanah liat. Dari sinilah tempat itu disebut
panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu / taman untuk istirahat dan
penenang hati memandang ke alam bebas / panorama gunung Ciremai. Dari
sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan Sumber Kabupaten
Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat, 1975).
Rumah-rumah penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan
keterpengaruhan itu. Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga
menyiratkan keterpengaruhan nama dari luar. Antara
Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memiliki
kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban,
Sampang, Lombang, dan Majakerta.
Keterkaitan dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan
besar tersebut ke seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa
dengan Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Data yang paling dekat
adalah pada abad ke-15 atau antara taun 1491 dan 1492, yaitu adanya
perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng Tepasari, putri Ki Ageng
Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang kemudian ikut Raden
Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng
Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad
Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983).
Melihat wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali
lagi, bukan sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari
benang merah masa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul,
apakah benar Indramayu, yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga
Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubungan dengan Pajajaran, Demak,
Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bahkan bangsa asing,
yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak “tunggal”, hanyalah
pengaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan sejarah di Indramayu
lebih banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah
tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan yang
cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai sejarah
peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum
ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber primer.***
Tulisan ini kutipan Dari Buku SISI GELAP SEJARAH INDRAMAYU (oleh
SUPALI KASIM) yang di posting di facebook Provins Cirebon @
http://www.facebook.com/provinsi.cirebon
0 komentar
Posting Komentar